IMPLEMENTASI EKONOMI ISLAM DALAM SEKTOR AGRARIA UNTUK KEMANDIRIAN EKONOMI INDONESIA

Assalamualaikum Wr. Wb.

Semangat pagi! Semangat Ekonom rabbani! Semangat menebar manfaat!

Menggelitik rasanya jika sudah membahas sektor agraikultur di Indonesia, sektor perekonomian yang pernah membesarkan nama Indonesia sekitar tahun 80-an kini sekarang termarjinalkan.

Atas kehendak Allah, FoSSEI (Forum Silaturahim Studi Ekonomi Islam) membahas sektor agraria dalam event tahunannya, Temu Ilmiah Nasional 2014 di Malang pekan lalu (27-29 Maret 2014), berikut adalah reviewnya. Selamat membaca 🙂

 

EFISIENSI FAKTOR PRODUKSI

1

36% dari 240 juta penduduk Indonesia atau sekitar 86 juta lebih penduduk Indonesia bekerja pada sektor pertanian, jumlah yang cukup besar mengingat Indonesia adalah negara berkembang namun memiliki PDB 20 terbesar dunia, yang dapat dikatakan Indonesia sudah mulai meninggalkan status sebagai negara berkembang.

Berbeda jauh dengan USA yang hanya memiliki 1.6% dari total penduduknya. Hal ini menunjukkan bahwa negara maju memiliki kecendrungan meninggalkan sektor agraria sebagai industri utama.

2

Jika melihat dan membandingkan kedua data diatas, penulis merasa takjub dan heran. Dalam tabel diatas sebelumnya, seperti yang sudah diketahui, Indonesia dan cina adalah negara yang memiliki tenaga kerja terbanyak dalam sektor pertanian. Namun ketika melihat tabel dibawahnya atau yang diatas, nilai tambah per tenaga kerja sektor pertanian, Malaysia dan USA adalah negara yang memiliki nilai tambah terbesar.

Disini penulis berasumsi bahwa, mereka (negara) yang memiliki nilai tambah yang besar adalah negara yang menerapkan faktor padat modal dan teknologi pada sektor pertaniannya. Seperti yang diketahui industri padat modal dan teknologi cenderung memiliki efisiensi yang tinggi. Dengan efisiensi yang tinggi tersebut, nilai tambah dan volume produksi juga akan semakin baik, berbeda dengan mereka yang masih menerapkan faktor produksi padat karya (tenaga kerja) dalam industrinya.

Dari data dan fakta serta argumen penulis diatas, timbul lagi masalah.

Ketika kita membicarakan ekonomi, kesejahteraan adalah tujuan utamanya, begitupun dalam hal agraria (pertanian) di Indonesia. Di satu sisi kita ingin mensejahterakan para pejuan-pejuang agraria (petani) Indonesia, namun di sisi lain efisiensi produksi adalah faktor penentu dalam produksinya, disinilah Indonesia menghadapi tradeoff (pertukaran). Tidak semua hal dapat kita capai, ingin kesejahteraan seluruh petani namun mengorbankan efisiensi produksi, dan jika ingin efisiensi produksi dan daya saing mau tidak mau kesejahteraan seluruh petani tidak tercapai.

Dari hal-hal diatas penulis mengajukan solusi yakni,

  1. Optimalisasi faktor produksi modal dan teknologi dalam sektor agraria Indonesia sebagai upaya meningkatkan efisiensi biaya produksi dan daya saing sektor agraria Indonesia;
  2. Transformasi tenaga kerja petani ke industri perkebunan dan/atau industri pengolahan.

 

SUBTITUSI IMPOR-EKSPOR, PERDAGANGAN BEBAS & COMPARATIVE ADVANTAGE

 3

Globalisasi dan perdagangan bebas merupakan hal-hal yang tidak bisa dikesampingkan dalam era milenium ini. Mereka (negara) yang tidak berpatisipasi aktif didalamnya akan dikucilkan dari pergaulan dunia. Perdagangan dunia dimulai sekitar abad 18’an, era merkantilis di Eropa. Sisi positif dengan adanya perdagangan bebas ini ialah setiap negara dapat dengan leluasa mengembangkan produk-produk unggulannya (division of labour and production). Mereka (negara-negara) yang tidak dapat memproduksi suatu produk dapat dengan mudah memenuhi kebutuhannya dari negara lain. Namun bagi negara berkembang (seperti Indonesia), dan negara yang kurang memiliki daya saing akan cenderung menjadi mangsa bagi negara-negara maju untuk memasarkan produknya.

Satu kunci jika ingin sukses dan survive dalam perdagangan internasional ialah comparative advantage, atau keunggulan kompetitif dalam produk. Memaksimalkan suatu produk yang kita mampu memproduksinya dengan kualitas dan kuantitas yang baik serta efisien dari produk lainnya yang kurang kita kuasai.

Kenapa Indonesia sampai saat ini hanya menjadi sasaran empuk dalam perdagangan internasional dan tidak bisa survive disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya:

  1. Perekonomian Indonesia 40-55% lebih masih ditopang oleh daya konsumsi masyarakatnya. Padahal yang dibutuhkan dalam perdagangan internasional ialah sektor produksi sebagai komponen utama perekonomian;
  2. Tingkat efisiensi produksi yang masih rendah. Hal ini disebabkan sebagian besar oleh birokrasi yang tumpang tindih dan inkonsistensinya serta infrastruktur yang tidak memadai menyebabkan distribusi tidak lancar yang pada akhirnya biaya produksi membengkak;
  3. Fokus produksi belum ada dan optimal. Inti dari perdagangan internasional ialah fokus pada produksi yang kita dapat kuasai secara optimal. Bisa kita lihat bahwa thailand bisa menjadi raja bagi durian montongnya, Swiss dengan coklat dan susu-nya, jepang dengan industri otomotifnya, perancis dengan fashionnya dsb. Negara-negara diatas sudah menemukan jati dirinya, PR  bagi Indonesia ialah menemukan produk yang unik dan dapat bersaing di dunia Internasional.

 

SUBTITUSI KOMODITAS PANGAN UTAMA

4

            “Belum makan kalau belum makan nasi.” Begitulah ungkapan dan doktrin mayoritas masyarakat Indonesia. Saking besarnya tingkat konsumsi beras dari total beras dunia, jika Indonesia sudah mengimpor beras dunia, harga keseimbangan beras dunia langsung bergeser ke kanan (bertambah naik) saking besarnya permintaan beras Indonesia.

Ketahanan pangan erat kaitannya dengan produk utama (primer) yang dikonsumsi, dan dalam hal ini Indonesia masih didominasi oleh produk beras. Atas dasar hal tersebut penulis memberi saran, jika Indonesia ingin survive dalam hal ketahanan pangan setidaknya diperlukan keputusan satu dari 3 hal dibawah ini:

  1. Mengurangi konsumsi beras. Konsumsi beras merupakan suatu kebudyaan yang tidak dapat dihilangkan, oleh karena itu sebagai solusi ketahanan pangan Indonesia penulis menyarankan untuk mengurangi konsumsi beras yang biasanya 100, menjadi 80 s.d 70, dan untuk memenuhi kekurangannya dapat ditutupi dengan mengkonsumsi kedelai atau jagung misalnya. Dalam hal pertama ini kota Depok, Jawa Barat sudah memiliki gerakan one day without rice, sebagai upaya mengurangi ketergantungan konsumsi beras.
  2. Subtitusi konsumsi beras sebagai produk konsumsi utama. Jika solusi diatas ialah mengurangi ketergantungan konsumsi beras, solusi kedua ini ialah menghilangkan ketergantungan atas konsumsi beras. Subtitusi konsumsi beras dapat berupa konsumsi jagung, gandum atau produk lainnya.
  3. Efisiensi produksi pertanian (dalam hal ini beras) sebagai tujuan untuk optimalisasi produksi beras Indonesia. Solusi ketiga ini untuk mengakomodir jika solusi pertama dan kedua tidak dapat dilakukan. Maksud efisiensi produksi pertanian ini ialah memaksimalkan faktor produksi modal dan teknologi sebagai upaya pemenuhan volume permintaan domestik (lihat tabel 1 & 2). Seperti yang sudah penulis katakan sebelumnya, mereka (negara maju) yang sudah menerapkan dan mengoptimalkan faktor produksi modal dan teknologi dalam industrinya cenderung lebih efisien dan optimal.

 

AGRARIA DAN TINJAUANNYA DALAM EKONOMI ISLAM

5

Lalu bagaimana sebenarnya implementasi ekonomi islam itu sendiri dari berbagai masalah yang telah disebutkan diatas?

Kurang lebih ada 4 hal, diantaranya    :

  1. Dominasi Kebijakan dalam Ekonomi Islam, Fiskal VS Moneter
  2. Spesialisasi dan desentralisasi produk
  3. Inti dari pembangungan perekonomian adalah kualitas SDM
  4. Pembangunan Infrastruktur sebagai dukungan efisiensi pemerintah dalam efisiensi produksi
  5. Sistem Pajak Proporsional dan pro rakyat
  6. Pengendalian Mekanisme Supply & Demand

 

DOMINASI KEBIJAKAN DALAM EKONOMI ISLAM, FISKAL VS MONETER

Faktor dominan dalam sistem ekonomi islam dan sistem ekonomi yang lainnya ialah sektor fiskal lebih dominan dari sektor moneter jika menyangkut kesejahteraan orang banyak. Jika dalam sistem ekonomi sosialis peran pemerintah adalah mutlak 100, individu 0 dan dalam kapitalis peran individu adalah mutlah 100, pemerintah 0, maka dalam ekonomi islam adalah peran pemerintah antara 50-60 dan individu 40-50. Dengan dominannya peran pemerintah dalam perekonomian bukan berarti ekonomi islam tidak mengakui adanya kepemilikan individu, justru dengan adanya peran pemerintah kepemilikan individu tersebut pemerintah selaku regulator menjamin bahwa kepemilikan tersebut ialah kebebasan yang bertanggung jawab, dalam hal ini tidak merugikan orang banyak.

Sistem ekonomi yang sangat dominan kebijakan moneternya ketimbang fiskalnya menandakan negara tsb adalah negara yang menerapkan sistem kapitalis. Karena fiskal dalam ekonomi kapital tidaklah seefektif kebijkan moneter, begitupun sebaliknya dengan ekonomi sosialis, dan posisi ekonomi islam ialah berada ditengah-tengahnya.

Adapun besar kecilnya peran pemerintah tergantung dari 2 hal, terjadinya distorsi pasar, penerapan moral, aturan main dan distribusi pendapatan serta sektor-sektor yang menyangkut kesejahteraan masyarakat banyak.

Namun untuk Indonesia sendiri bisa dilihat pada tabel diatas, peran pemerintah melalui government exp. belum terlalu berpihak pada sektor pertanian, yang padahal ini adalah sektor yang menyangkut kesejahteraan masyarakat luas.

 

DESENTRALISASI PRODUKSI DAN SPESIALISASI PRODUK

Jauh sebelum Adam Smith dalam buku The Wealth of nationnya (1776 M), ekonom muslim Al-Ghazali (1058 M) telah mengeluarkan teorinya mengenai Division of Labour atau spesialisasi pekerjaan, berikut isi teorinya:

Sebelum menghasilkan suatu barang jadi, tentulah ada proses-proses perubahan dari barang mentah – sumber daya alam, yang menurut beliau ada 3 kategori (barang tambang, hasil pertanian dan binatang ternak) – menjadi barang setengah jadi dan menghasilkan barang jadi atau produk siap pakai. Hal ini tentunya membutuhkan adanya pembagian tugas masing-masing individu disesuaikan dengan kemampuan dan keahliannya. Hal ini bertujuan untuk mempercepat produksi dan meningkatkan efisiensi waktu untuk menghasilkan suatu produk.” Lebih jauh lagi ia berpendapat

Coba bayangkan tentang sekerat roti, bagaimana ia dihasilkan? Tentu saja untuk menhasilkan sekerat roti diperlukan waktu yang cukup lama dan melibatkan sekian banyak orang. Karena untuk menhasilkan sekerat roti kita membutuhkan bahan dasarnya yang biasanya berupa gandum. Sebagaimana kita ketahui bahwa gandum itu dihasilkan oleh para petani yang terlebih dahulu mengolah sawah sebelum menanaminya dengan benih-benih gandunm.untuk mengolah sawahnya petani membutuhkan berbagai macam alat, mulai dari binatang sampai alat yang dihasilkan oleh pandai besi, begitu seterusnya.”

Ekonom lainnya yang cukup masyur pada jamannya (Ibnu Khaldun) berpendapat bahwa:
Apabila pekerjaan dibagi-bagi diantara masyarakat berdasarkan spesialisasi, akan menhasilkan output yang lebih besar.” Lebih jauh lagi beliau berpendapat

. . . tak seorangpun dengan sendirian memperoleh sejumlah gandum yang dibutuhkannya untuk makanan. Namun, bila enam atau sepulu orang terdiri dari tukang besi atau tukang kayu untuk membuat alat-alat, dan yang lain bertugas menjalankan sapi, mengolah tanah, mengetam hasil tanaman dan seluruh kegiatan pertanian lainnya, bekerja untuk memperoleh makanan secara terpisah-pisah atau terkumpul bersama, bekerja untuk memperoleh makanan secara terpisah-pisah atau terkumpul bersama, dan dengan kerja itu diperoleh sejumpah makanan, jumlah itu akan dapat memenuhi kebutuhan penduduk beberapa kali lipat. Pekerjaan yang terkombinasi menghasilkan lebih banyak dari pada kebutuhan dan kepentingan para pekerja.

Kedua teori diatas dapat diterapkan untuk permasalahan pertanian dan ketahanan pangan di Indonesia, yakni:

  1. Desentralisasi produksi agraria setiap daerah sebagai bentuk optimalisasi produksi. Seperti yang kita ketahui, setiap daerah memiliki ciri khasnya masing-masing, ada daerah yang hanya cocok ditanami tumbuhan X, yang lainnya tumbuhan Y dsb, begitu juga dengan ekologi dan kualitas tanahnya. Atas dasar hal tsb, untuk mengoptimalisasikan produksi agraria Indonesia, setiap daerah harus melakukan desentralisasi atas produk daerahnya masing-masing.
  2. Selain desentralisasi, spesialisasi juga mutlak diperlukan bagi daerah-daerah yang hanya dapat optimal dalam memproduksi suatu produk, malang dengan apelnya, jawa dengan berasnya, nusa tenggara dengan sagunya dsb. Dengan adanya optimalisasi produk tersebut, diharapkan daerah-daerah tsb semakin efisien dalam produksinya dan dapat menyumbang bagi devisa negara dengan mengekspor produknya tsb.

 

INTI DARI PEMBANGUNGAN PEREKONOMIAN ADALAH KUALITAS SDM

Ibnu Khaldun dalam bukunya muqadimah berpendapat, “keuntungan adalah nilai yang timbul dari kerja manusia, yang diperoleh dari usaha untuk mencapat barang-barang dan perhatian untuk memilikinya. Oleh karena itu manusia merupakan elemen penting dalam proses produksi.

“. . . Kalau tidak ada kerja dan usaha, maka tidak akan ada hasil dan keuntungan.”

Disini ibn Khaldun menekankan bahwa, nilai sesuatu itu terletak pada kerja manusia yang dicurahkan kepadanya, atau dengan kata lain substansi nilai itu adalah kerja dan segala yang terpenting dalam kerja tersebut adalah pencurahan tenaga untuk memproduksi sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.

Kita dapat melihat bagaimana Jepang dan Jerman bisa dengan segera bangkit dari keterpurukan ekonominya pasca perang dunia ke 2. Apa yang pertama mereka bangun? Industri otomotifnya kah? Bukan. Namun kualitas SDM mereka terlebih dahulu yang mereka bangun, setelah itu infrastruktur, dan terakhir barulah industrinya. Kita bisa lihat budaya dan keuletan kedua negara tersebut dalam bekerja dan belajar.

Maka jika (ekonomi) Indonesia belum bisa berkembang lebih jauh, hal pertama yang perlu dikoreksi ialah kualitas SDMnya. Hal tersebut bisa diperbaiki dengan sistem pendidikan dan pembelajaran yang ada, serta budayanya sehari-hari.

 

PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR SEBAGAI DUKUNGAN EFISIENSI PEMERINTAH DALAM EFISIENSI PRODUKSI

Abu Yusuf ekonom muslim lainnya berpendapat       :

. . .Pada kenyataannya tidak selalu terjadi bahwa bila persediaan barang sedikit maka harga akan mahal, dan bila persediaan barang melimpah maka harga akan murah. Terkadang makanan berlimpah tetapi tetap mahal dan terkadang makanan sangat sedikit tetapi tetap murah.” Lebih lanjut lagi beliau berpendapat

… Dapat saja harga-harga tetap mahal ketika persediaan barang melimpah. Sementara harga akan murah meskipun persediaan barang berkurang. Pada kenyataannya harga tidak tergantung pada permintaan saja, tetapi juga bergantung pada kekuatan penawaran. Karena itu, peningkatan atau penurunan harga tidak selalu berhubungan dengan peningkatan/ penurunan permintaan atau penurunaan/peningkatan dalam produksi.

 

Ibn Khaldun, ekonom muslim fase kedua berpendapat

“. .  . Ketika Barang yang tersedia sedikit, harga-harga akan naik. Namun, bila jarak antar kota dekat dan aman untuk melakukan perjalanan, akan banyak barang yang diimpor sehingga ketersediaan barang akan melimpah dan harga-harga akan turun.”

6

Ya, seperti yang telah diungkapkan oleh Umer Chapra (Penasihat Senior Peneliti di Islamic Research and Training Institute of Islamic Development Bank (IRTI IDB), Jeddah yang telah banyak menulis tentang isu-isu ekonomi dan keuangan Islam Islam). Di negara berkembang masalah-masalah berkutat mengenai infrastruktur dan inklusifitas lembaga keuangan. Infrastruktur berkaitan dengan biaya produksi dan distribusi, jika distribusi lancar, maka perusahaan dapat menekan biaya produksinya, begitupun sebaliknya. Dan inklusifitas lembaga keuangan berkaitan dengan permodalan perusahaan. Ada kalanya perusahaan membutuhkan dana untuk berkembang, kesulitan akses keuangan membuat industri sulit berkembang. Kedua hal diatas peran pemerintah selaku regulator dan pemain besar dalam perekonomian berperan besar.

Dari ketiga pendapat yang telah diutarakan oleh ekonom-ekonom lintas generasi tersebut, penulis berkesimpulan, faktor penyediaan infrastruktur ialah salah satu faktor dominan dalam menjamin produksi suatu negara. Infastruktur (seperti jalan raya, pelabuhan dsb) diibaratkan seperti arteri-arteri dalam darah kita, bila arteri tsb tersendat, maka terganggulah semua sistem dalam tubuh kita.

Penyediaan infrastruktur terlebih dalam sektor agraria merupakan salah satu faktor yang dominan mengingat produk-produk agraria bukan merupakan produk yang tahan lama (dapat membusuk) jika terlalu lama didistribusikan, dan produk-produk agraria merupakan produk musiman, yang jika tidak segera didistribusikan akan menyebabkan ketimpangan dalam mekanisme pasar karena produksi (baca: panen) tidaklah setiap bulan.

 

SISTEM PAJAK PROPORSIONAL YANG PRO RAKYAT DAN KETERATURAN PUNGUTAN BIROKRASI

Ibn Khaldun dalam bagian bukunya yang lain menjelaskan pengaruh meningkatnya biaya produksi karena pajak dan pungutan-pungutan lain di kota, paa sisi penawaran.

Bea cukai biasa dan bea cukai lainnya dipungut atas bahan makanan di pasar-pasar dan di pintu-pintu kota demi raja, dan para pengumpul pajak menarik keuntungan dari transaksi bisnis untuk kepentingan diri mereka sendiri. Karenanya harga di kota lebih tinggi dari pada di padang pasir.

Tidak dipungkiri bahwa pajak adalah salah satu penyumbang dari semakin tinggi/rendahnya biaya produksi. Benar adanya bahwa pajak nantinya akan kembali didistribusikan untuk masyarakat luas, namun pajak yang seperti apa?

Dalam pendapatnya, ibn khaldun menjelaskan bahwa kecenderungan pungutan pajak di kota lebih tinggi daripada di desa karena ketidakteraturan sistem pungutan yang ada (baca: pungli). Meningkatnya beban pajak secara tidak langsung akan meningkatkan harga barang tersebut, dan timbulah distorsi-distorsi lainnya. Pentingnya peran pemerintah dalam membuat keteraturan sistem pungutan pajak sangat dianjurkan dalam ekonomi islam, karena pada akhirnya akan berimbas pada kesejahteraan masyarakat sendiri.

Adapun untuk sektor agraria (dalam hal ini pangan), jika Indonesia ingin menuju kepada kedaulatan dan kemandirian pangan. Ada baiknya pemerintah mulai selektif menerapkan pajak untuk importir-importir yang mengimpor produk-produk agraria yang dapat merusak harga pasar domestik. Selain itu mulai melunakkan pajak pada produk-produk impor faktor produksi yang dapat mengembangkan industri agraria Indonesia (seperti impor teknologi agraria, benih dan biji berkualitas dsb).

PENGENDALIAN MEKANISME SUPPLY & DEMAND

Seperti yang telah kita ketahui, sektor agraria adalah sektor yang rentan karena sektor ini selain bersifat musiman, juga tergantung situasi dan kondisi iklim dan cuaca. Jika tiba saatnya panen, produksi melimpah, penawaran meningkat, harga pun anjlok, petani merugi, sektor pertanian pun menjadi lesu. Ini merupakan salah satu faktor kenapa sektor agrikultur Indonesia tidak berkembang dan lembaga keuangan tidak tertarik dengan sektor agraria Indonesia.

Lantas apa solusinya?

Dalam sejarah ekonomi islam, ada yang namanya lembaga “diwan”, atau badan/lembaga yang terfokus pada regulasi satu bidang perekonomian saja. Lembaga ini diterapkan dan benar-benar efektif pada masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid. Tercatat dalam sejarah setidaknya terdapat 3 diwan, yakni           :

Diwan al-Khazanah (bertugas mengurus seluruh perbendaharaan neagara), diwan al-azra, (bertugas mengurus kekayaan negaa yang berupa hasil bumi), diwan khazain al-silah (bertugas mengurus perlengkapan angkatan perang).

Dalam masa kini penerapan diwan tsb dapat berupa optimalisasi kembali peran bulog sebagai pengatur mekanisme supply dan demand produk-produk pertanian. Bulog pada tahun 80’terlihat sangat efektif namun entah kenapa pada tahun-tahun kini seperti hilang ditelan bumi. Pada zaman Harun ar-Rasyid dahulu, diwan al-Azra (yg mengurus pertanian) dibebani jobdesc kurang lebih diantaranya: meningkatkan sektor pertanian, mengeluarkan berbagai kebihakan yang membela hak-hak kaum tani (seperti peringanan beban pajak hasil bumi, penjaminan hak milik dan keselamatan jiwa, perluasan lahan pertanian di setiap daerah dan pembangunan berbagai bendungan dan kanal.).

PENUTUP

7

Mayoritas negara-negara dunia (termasuk Indonesia) sudah mengesampingkan sektor pertanian sebagai kontributor utama dalam PDB negaranya. Hal ini dapat dilihat, khususnya negara Indonesia, sektor pertanian hanya menyumbang sebesar 13% dari total PDB negara. Bila dulu, sekitar tahun 80’an, pertanian adalah kontributor utama penyumbang PDB negara. Namun tidak lagi sekarang, penyumbang utama PDB negara ialah sektor pengolahan, sektor jasa & keuangan dan setelah itu barulah sektor pertanian.

Pembahasan mengenai subtitusi sektor pertanian atau industri bukan merupakan alternatif pilihan. Keduanya bersifat komplementer dalam penyediaan input dan output produksi. Isu yang harus dibahas bukan pertanian atau industri, tetapi kesejahteraan masyarakat.

 

REFERENCES

FAO 2010

http://www.fem.ipb.ac.id

Seminar Nasional TEMILNAS, Implementasi Ekonomi Islam Dalam Sektor Agraria Untuk Kemandirian Ekonomi Indonesia. Oleh bpk Hendri Tanjung, Prof. M. Firdaus dan Kementan.

Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik Hingga Kontemporer, Euis Amalia

Simposium Nasional FoSSEI 2014.

Statistik Bank Dunia 2013.

www.deptan.go.id

www.kemenperin.go.id

(Kennardi Dewanto – Kadiv Keilmuan)

Leave a comment